skip to main |
skip to sidebar
Memperoleh hikmat
sungguh jauh melebihi memperoleh emas, dan mendapat pengertian jauh
lebih berharga daripada mendapat perak. Amsal 16:16
Suatu hari, dahulu kala, sebuah gereja yang mengagumkan berdiri di
sebuah bukit yang tinggi di sebuah kota yang besar. Jika dihiasi
lampu-lampu untuk sebuah perayaan istimewa, gereja itu dapat dilihat
hingga jauh di sekitarnya. Namun demikian ada sesuatu yang jauh lebih
menakjubkan dari gereja ini ketimbang keindahannya: legenda yang aneh
dan indah tentang loncengnya.
Di sudut gereja itu ada sebuah menara berwarna abu-abu yang tinggi,
dan di puncak menara itu, demikian menurut kata orang, ada sebuah
rangkaian lonceng yang paling indah di dunia. Tetapi kenyataannya tak
ada yang pernah mendengar lonceng-lonceng ini selama bertahun-tahun.
Bahkan tidak juga pada hari Natal. Karena merupakan suatu adat pada
Malam Natal bagi semua orang untuk datang ke gereja membawa persembahan
mereka bagi bayi Kristus. Dan ada masanya di mana sebuah persembahan
yang sangat tidak biasa yang diletakkan di altar akan menimbulkan alunan
musik yang indah dari lonceng-lonceng yang ada jauh di puncak menara.
Ada yang mengatakan bahwa malaikatlah yang membuatnya berayun. Tetapi
akhir-akhir ini tak ada persembahan yang cukup luar biasa yang layak
memperoleh dentangan lonceng-lonceng itu.
Sekarang beberapa kilometer dari kota, di sebuah desa kecil, tinggal
seorang anak laki-laki bernama Pedro dengan adik laki-lakinya. Mereka
hanya tahu sangat sedikit tentang lonceng-lonceng Natal itu, tetapi
mereka pernah mendengar mengenai kebaktian di gereja itu pada Malam
Natal dan mereka memutuskan untuk pergi melihat perayaan yang indah itu.
Sehari sebelum Natal sungguh menggigit dinginnya, dengan salju putih
yang telah mengeras di tanah. Pedro dan adiknya berangkat awal di siang
harinya, dan meskipun cuaca dingin mereka mencapai pinggiran kota saat
senja. Mereka baru saja akan memasuki salah satu pintu gerbang yang
besar ketika Pedro melihat sesuatu berwarna gelap di salju di dekat
jalan mereka.
Itu adalah seorang wanita yang malang, yang terjatuh tepat di luar
pintu kota, terlalu sakit dan lelah untuk masuk ke kota di mana ia dapat
memperoleh tempat berteduh. Pedro berusaha membangunkannya, tetapi ia
hampir tak sadarkan diri. "Tak ada gunanya, Dik. Kau harus meneruskan
seorang diri."
"Tanpamu?" teriak adiknya. Pedro mengangguk perlahan. "Wanita ini
akan mati kedinginan jika tak ada yang merawatnya. Semua orang mungkin
sudah pergi ke gereja saat ini, tetapi kalau kamu pulang pastikan bahwa
kau membawa seseorang untuk membantunya. Saya akan tinggal di sini dan
berusaha menjaganya agar tidak membeku, dan mungkin menyuruhnya memakan
roti yang ada di saku saya."
"Tapi saya tak dapat meninggalkanmu!" adiknya memekik. "Cukup salah
satu dari kita yang tidak menghadiri kebaktian," kata Pedro. "Kamu harus
melihat dan mendengar segala sesuatunya dua kali, sekali untukmu dan
sekali untukku. Saya yakin bayi Kristus tahu betapa saya ingin
menyembahNya. Dan jika kamu memperoleh kesempatan, bawalah potongan
perakku ini dan saat tak seorangpun melihat, taruhlah sebagai
persembahanku."
Demikianlah ia menyuruh adiknya cepat-cepat pergi ke kota, dan
mengejapkan mata dengan susah payah untuk menahan air mata
kekecewaannya.
Gereja yang besar tersebut sungguh indah malam itu; sebelumnya belum
pernah terlihat seindah itu. Ketika organ mulai dimainkan dan ribuan
orang bernyanyi, dinding-dinding gereja bergetar oleh suaranya.
Pada akhir kebaktian tibalah saatnya untuk berbaris guna meletakkan
persembahan di altar. Ada yang membawa permata, ada yang membawa
keranjang yang berat berisi emas. Seorang penulis terkenal meletakkan
sebuah buku yang telah ditulisnya selama bertahun-tahun. Dan yang
terakhir, berjalanlah sang Raja negeri itu, sama seperti yang lain
berharap ia layak untuk memperoleh dentangan lonceng Natal.
Gumaman yang keras terdengar di seluruh ruang gereja ketika sang Raja
melepaskan dari kepalanya mahkota kerajaannya, yang dipenuhi batu-batu
berharga, dan meletakkannya di altar. "Tentunya," semua berkata, "kita
akan mendengar lonceng-lonceng itu sekarang!" Tetapi hanya hembusan
angin dingin yang terdengar di menara.
Barisan orang sudah habis, dan paduan suara memulai lagu penutup.
Tiba-tiba saja, pemain organ berhenti bermain. Nyanyian berhenti. Tak
terdengar suara sedikitpun dari siapa saja di dalam gereja. Sementara
semua orang memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan, terdengarlah
dengan perlahan-tetapi amat jelas-suara lonceng-lonceng di menara itu.
Kedengaran sangat jauh tetapi sangat jelas, alunan musik itu terdengar
jauh lebih manis daripada suara apapun yang pernah mereka dengar.
Maka mereka semuapun berdiri bersama dan melihat ke altar untuk
menyaksikan persembahan besar apakah yang membangunkan lonceng yang
telah berdiam sekian lama. Tetapi yang mereka lihat hanyalah sosok
kekanak-kanakan adik laki-laki Pedro, yang telah perlahan-lahan
merangkak di sepanjang lorong kursi ketika tak seorangpun memperhatikan,
dan meletakkan potongan kecil perak milik Pedro di altar.
Ini adalah kisah keluarga yang diceritakan ayahku tentang ibunya, yakni nenekku.
Pada tahun 1949, ayahku baru pulang dari perang. Di setiap jalan raya
Amerika, terlihat tentara berseragam meminta tumpangan pulang ke
keluarganya, seperti kebiasaan di Amerika saat itu.
Sedihnya, kegembiraan reuni bersama keluarganya kemudian dinaungi
kegelapan. Nenekku sakit parah dan harus masuk rumah sakit. Ginjalnya
sakit, dan para dokter memberitahu ayahku bahwa nenek harus segera
ditransfusi darah atau ia tak akan bertahan melewati malam itu.
Masalahnya, golongan darah nenek itu AB, golongan yang langka, bahkan
juga sekarang, tapi waktu itu lebih sulit lagi diperoleh karena tak ada
bank darah maupun pesawat untuk mengirimkannya. Semua anggota keluarga
dites, tapi tak satu pun memiliki golongan darah yang cocok. Jadi para
dokter tak memberi harapan pada keluarga, nenekku akan meninggal.
Sambil menangis, ayahku meninggalkan rumah sakit untuk menghimpun
seluruh anggota keluarga, supaya semuanya bisa mendapat kesempatan untuk
berpamitan dengan nenek. Saat ayahku mengendarai mobil di jalan raya,
ia melewati seorang tentara berseragam yang minta tumpangan pulang.
Dengan duka yang dalam, saat itu ayahku tak beniat beramal. Tapi, seakan
ada sesuatu di luar dirinya yang menyuruhnya berhenti, dan ia menunggu
orang asing itu naik mobil.
Ayahku terlalu sedih untuk menanyakan nama tentara itu sekalipun,
tapi tentara itu langsung melihat air mata ayahku dan menanyakannya.
Sambil menangis ayahku bercerita pada orang asing ini bahwa ibunya
terbaring sekarat di rumah sakit karena dokter tak dapat menemukan
golongan darahnya, AB dan jika sampai malam tiba golongan darah itu
belum ada, ibunya tentu akanmati.
Suasana di mobil menjadi hening. Lalu, tentara tak dikenal ini
menjulurkan tangannya pada ayahku, telapak menengadah. Pada telapak
tangannya terdapat kalung tentara dari lehernya. Golongan darah pada
kalung itu adalah AB. Tentara itu menyuruh ayahku membalikkan mobil dan
membawanya ke rumah sakit.
Nenekku hidup hingga tahun 1996, empat puluh tujuh tahun kemudian,
dan sampai saat ini tak seorangpun keluarga kami yang mengetahui nama
tentara itu. Tapi ayahku sering bertanya-tanya, apakah orang itu tentara
atau malaikat berseragam?
Tersebutlah seorang
ayah yang mempunyai anak. Ayah ini sangat menyayangi anaknya. Di suatu
weekend, si ayah mengajak anaknya untuk pergi ke pasar malam. Mereka
pulang sangat larut. Di tengah jalan, si anak melepas seat beltnya
karena merasa tidak nyaman. Si ayah sudah menyuruhnya memasang kembali,
namun si anak tidak menurut.
Benar saja, di sebuah tikungan, sebuah mobil lain melaju kencang tak
terkendali. Ternyata pengemudinya mabuk. Tabrakan tak terhindarkan. Si
ayah selamat, namun si anak terpental keluar. Kepalanya membentur aspal,
dan menderita gegar otak yang cukup parah. Setelah berapa lama mendekam
di rumah sakit, akhirnya si anak siuman. Namun ia tidak dapat melihat
dan mendengar apapun. Buta tuli. Si ayah dengan sedih, hanya bisa
memeluk erat anaknya, karena ia tahu hanya sentuhan dan pelukan yang
bisa anaknya rasakan.
Begitulah kehidupan sang ayah dan anaknya yang buta-tuli ini. Dia
senantiasa menjaga anaknya. Suatu saat si anak kepanasan dan minta es,
si ayah diam saja. Sebab ia melihat anaknya sedang demam, dan es akan
memperparah demam anaknya. Di suatu musim dingin, si anak memaksa
berjalan ke tempat yang hangat, namun si ayah menarik keras sampai
melukai tangan si anak, karena ternyata tempat ‘hangat’ tersebut tidak
jauh dari sebuah gedung yang terbakar hebat. Suatu kali anaknya kesal
karena ayahnya membuang liontin kesukaannya. Si anak sangat marah, namun
sang ayah hanya bisa menghela nafas. Komunikasinya terbatas. Ingin
rasanya ia menjelaskan bahwa liontin yang tajam itu sudah berkarat.,
namun apa daya si anak tidak dapat mendengar, hanya dapat merasakan. Ia
hanya bisa berharap anaknya sepenuhnya percaya kalau papanya hanya
melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Saat-saat paling bahagia si ayah adalah saat dia mendengar anaknya
mengutarakan perasaannya, isi hatinya. Saat anaknya mendiamkan dia, dia
merasa tersiksa, namun ia senantiasa berada disamping anaknya, setia
menjaganya. Dia hanya bisa berdoa dan berharap, kalau suatu saat Tuhan
boleh memberi mujizat. Setiap hari jam 4 pagi, dia bangun untuk
mendoakan kesembuhan anaknya. Setiap hari.
Beberapa tahun berlalu. Di suatu pagi yang cerah, sayup-sayup bunyi
kicauan burung membangunkan si anak. Ternyata pendengarannya pulih! Anak
itu berteriak kegirangan, sampai mengejutkan si ayah yg tertidur di
sampingnya. Kemudian disusul oleh pengelihatannya. Ternyata Tuhan telah
mengabulkan doa sang ayah. Melihat rambut ayahnya yang telah memutih dan
tangan sang ayah yg telah mengeras penuh luka, si anak memeluk erat
sang ayah, sambil berkata. “Ayah, terima kasih ya, selama ini engkau
telah setia menjagaku.”
Pada tahun 1971 surat
kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup
di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika. Pria ini menikahi
seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah
menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik.
Dia sering pulang malam- malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak
dan isterinya.
Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New
York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke
utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa
temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati
hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.
Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai
kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia
menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya
pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam
penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.
Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia
merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan
untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa
menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya. Dia
berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin
sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan
menulis, "Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau
masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku
kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya
pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak
menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan
mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami.
Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan
anak-anak seumur hidupku."
Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah. Dia tidak
menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya
menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau
mengampuninya? Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung
halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar
ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, "Tolong, pas lewat
White Oak, jalan pelan- pelan...kita mesti lihat apa yang akan
terjadi..."
Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia
tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras.
Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetas di matanya...
Dia tidak melihat sehelai pita kuning...
Tidak ada sehelai pita kuning....
Tidak ada sehelai......
Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning....bergantungan di pohon
beringin itu...Ooh...seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning...!!!
Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di
Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah
ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, "Tie a
Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree", dan ketika album ini di-rilis
pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April
1973.Sebuah lagu yang manis, namun mungkin masih lebih manis jika kita
melakukan apa yang disiratkan oleh liriknya.
Yellow Ribbon
ON ROUND THE OLD OAK TREE ON ROUND THE OLD OAK TREE
I'm coming' home, I've done my time
Now I've got to know what is and isn't mine
If you received my letter telling you I'd soon be free
Then you'll know just what to do
If you still want me
If you still want me
Whoa, tie a yellow ribbon 'round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Bus driver, please look for me
'cause I couldn't bear to see what I might see
I'm really still in prison
And my love, she holds the key
A simple yellow ribbons what I need to set me free
I wrote and told her please
Whoa, tie a yellow ribbon round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Now the whole damned bus is cheering
And I can't believe I see
A hundred yellow ribbons round the old oak tree
I'm coming home
I'm coming' home, I've done my time
Now I've got to know what is and isn't mine
If you received my letter telling you I'd soon be free
Then you'll know just what to do
If you still want me
If you still want me
Whoa, tie a yellow ribbon 'round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Bus driver, please look for me
'cause I couldn't bear to see what I might see
I'm really still in prison
And my love, she holds the key
A simple yellow ribbons what I need to set me free
I wrote and told her please
Whoa, tie a yellow ribbon round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Now the whole damned bus is cheering
And I can't believe I see
A hundred yellow ribbons round the old oak tree
I'm coming home
Dalam sebuah rumah mewah, hiduplah sepasang suami istri. Mereka sangat harmonis dan sudah meraih kehidupan yg mapan.
Namun setelah 10 thn menikah mereka belum juga dikarunia seorang
anakpun. Mereka benar2 saling mencintai, tetapi karena desakan berbagai
pihak akhirnya si suami berkeinginan menceraikan istrinya karena
dianggap tidak mampu memberinya seorang anak sbg pewaris. Setelah
berdebat lama & cukup sengit, si istri yg terluka hatinya akhirnya
menyerah.
Melalui percakapan berkali-kali dgn berat hati orang tua mrk
menyetujui dengan syarat, sebelum bercerai mrk harus mengadakan pesta
perpisahan layaknya pesta pernikahan mereka dulu.
Maka pesta megah diselenggarakan, pesta yg tidak membahagiakan
siapapun. Si Suami tampak tertekan & meneguk anggur sampai mabuk
berat, sementara si istri sesekali menghapus air matanya.
Disaat tak terduga si suami yg mabok dgn lantang berkata, "Istriku,
saat kau pergi nanti, semua barang berharga atau apa pun yg kau sukai
dan kau sayangi, boleh kau bawa & menjadi milikmu!" Setelah berkata
demikian ia kembali meneguk anggur sampai tak sadarkan diri.
Keesokan harinya dgn kepala berat si suami terbangun & sadar bhw
ia tdk tdr di kmrnya. Ia tdk mengenali kamar itu selain sosok yg sdh
dikenalnya ber-tahun2, disampingnya, yaitu istrinya. "Ada di manakah
kita? Apakah aku masih mabuk & bermimpi?"
Dgn penuh cinta si istri menjwb, "Kita di rmh org tuaku. Td malam,
didepan para tamu kamu mengatakan bhw aku boleh membawa apa saja yg
kusayangi. Di dunia ini tidak ada brg yg lbh berharga & kusayangi
dgn sepenuh hati selain kamu. Karena itu kamu kubawa ke rumah org tuaku"
Si suami termenungdan segera menyadari betapa besar rasa sayang
istrinya itu , lalu ia memeluk istrinya, "Maafkan aku sayang, karena aku
bodoh & tidak menyadari dalamnya cintamu pdku. Walau aku telah
menyakitimu & ingin menceraikanmu, tetapi kau malah membawaku
bersamamu ".
Namaku Riri, aku saat
ini sedang kuliah semester akhir di sebuah universitas negeri. Aku
kuliah disebuah jurusan yang cukup favorit, yaitu jurusan Kedokteran.
Sebuah jurusan – yang aku yakini – dapat membuat hidupku lebih baik di
masa mendatang.
Bukan kehidupan yang hanya untukku, tetapi juga buat keluargaku yang
telah susah payah mengumpulkan uang – agar aku dapat meneruskan dan
meluluskan kuliahku. Kakakku juga rela untuk tidak menikah tahun ini,
karena ia harus menyisihkan sebagian gajinya untuk membiayai tugas akhir
dan biaya-biaya laboratoriumku yang cukup tinggi.
Hari ini adalah hari ujian semesteranku. Mata kuliah ini diampu oleh
dosen yang cukup unik, dia ingin memberikan pertanyaan-pertanyaan ujian
secara lisan. “Agar aku bisa dekat dengan mahasiswa.” katanya beberapa
waktu lalu.
Satu per satu pertanyaan pun dia lontarkan, kami para mahasiswa
berusaha menjawab pertanyaan itu semampu mungkin dalam kertas ujian
kami. Ketakutanku terjawab hari ini, 9 pertanyaan yang dilontarkannya
lumayan mudah untuk dijawab. Jawaban demi jawaban pun dengan lancar aku
tulis di lembar jawabku.
Tinggal pertanyaan ke-10.
“Ini pertanyaan terakhir.” kata dosen itu.
“Coba tuliskan nama ibu tua yang setia membersihkan ruangan ini, bahkan seluruh ruangan di gedung Jurusan ini !” katanya.
Seluruh ruangan pun tersenyum. Mungkin mereka menyangka ini hanya
gurauan, jelas pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan mata kuliah
yang sedang diujikan kali ini.
“Ini serius !” lanjut Pak Dosen yang sudah agak tua itu dengan tegas.
“Kalau tidak tahu mending dikosongkan aja, jangan suka mengarang nama
orang !”
Aku tahu ibu tua itu, dia mungkin juga satu-satunya cleaning service
di gedung jurusan kedokteran ini. Aku tahu dia, orangnya agak pendek,
rambut putih yang selalu digelung, dan ia selalu ramah serta amat sopan
dengan mahasiswa-mahasiswa di sini. Ia selalu menundukkan kepalanya saat
melewati kerumunan mahasiswa yang sedang nongkrong.
Tapi satu hal yang membuatku konyol.. aku tidak tahu namanya ! dan
dengan terpaksa aku memberi jawaban ‘kosong’ pada pertanyaan ke-10 ini.
Ujian pun berakhir, satu per satu lembar jawaban pun dikumpulkan ke
tangan dosen itu. Sambil menyodorkan kertas jawaban, aku memberanikan
bertanya kepadanya kenapa ia memberi ‘pertanyaan aneh’ itu, serta
seberapa pentingkah pertanyaan itu dalam ujian kali ini.
“Justru ini adalah pertanyaan terpenting dalam ujian kali ini”
katanya. Beberapa mahasiswa pun ikut memperhatikan ketika dosen itu
berbicara.
“Pertanyaan ini memiliki bobot tertinggi dari pada 9 pertanyaan yang
lainnya, jika anda tidak mampu menjawabnya, sudah pasti nilai anda hanya
C atau D !”
Semua berdecak, aku bertanya kepadanya lagi, “Kenapa Pak ?”
Kata dosen itu sambil tersenyum, “Hanya yang peduli pada orang-orang
sekitarnya saja yang pantas jadi dokter.” Ia lalu pergi membawa tumpukan
kertas-kertas jawaban ujian itu.
14 Februari 2006
Dua minggu yang lalu pesawat yang ditumpangi Arga telah dinyatakan
hilang, hingga hari ini pesawat yang ditumpangi Arga belum ditemukan.
Arga adalah suamiku, kami menikah sekitar tiga bulan yang lalu. Saya
mulai pasrah menerima keadaan ini. Beberapa kerabat sering datang ke
rumah untuk memberi dukungan doa dan penguatan.
Kupandangi seikat bunga layu di dekat foto Arga. Bunga layu itu
adalah hadiah valentine dari Arga untukku setahun yang lalu. Sekalipun
Arga bukan sosok yang romantis, ia sering memberi kejutan-kejutan kecil
kepadaku. Memberi bunga padaku saat Valentine adalah salah satu hal
wajib bagi dia.
Hari ini sebenarnya adalah Valentine pertama bagi pernikahan kami. tapi Arga malah ‘pergi’ meninggalkan aku.
...
“Permisi..” kudengar suara orang mengetuk pintu. Segera aku menuju pintu dan membukanya.
“Apakah ini rumah Ibu Arga ?” tanya orang itu.
“Ya saya sendiri.” Jawabku
“Ini bu.. cuma mau mengantar kiriman bunga dari Bapak Arga.” Katanya
sambil menyodorkan seikat Bunga Mawar yang sangat indah. Aku baca
tulisan di kertas kecil, terdapat tulisan “Semoga aku mencintaimu lebih
lagi di tahun ini.. (Arga)”
Aku menerimanya sambil melongo…
“Tapi.. tapi.. Bapak Arga telah hilang ..dan mungkin telah tewas
dalam sebuah kecelakaan pesawat beberapa waktu lalu.. ” Kataku pada
pengantar bunga itu setengah tidak percaya.
“Lho kok bisa ?” kata pengantar bunga itu. Kemudian dia mengambil HP
dari saku dan menelepon atasannya. Mungkin dia ingin memastikan bahwa
itu bukan bunga salah alamat atau kiriman orang iseng.
Agak lama dia menelepon. Aku juga tidak begitu jelas mendengar percakapannya dengan atasannya.
“Begini bu, ini memang benar-benar bunga dari Bapak Arga.” Pengantar
bunga itu akhirnya berkata, “Bapak Arga sendiri yang memesan bunga ini
sekitar tiga bulan yang lalu, dan dia ingin agar bunga-bunga ini di
antar pada tanggal 14 Februari”
Dia melanjutkan, “Bapak Arga telah memesan sepuluh ikat bunga kepada
kami, dia ingin kami mengantarkannya kepada anda setiap tahun pada
tanggal 14 Februari, hingga 10 tahun ke depan. Bapak Arga juga telah
menulis 10 kartu ucapan dengan kalimat-kalimat yang berbeda untuk
diselipkan dalam setiap ikatan bunga pesanannya.”
Tiga bulan yang lalu.. setahuku itu adalah bulan saat kami menikah.
...
14 Februari 2007
Hari ini bunga mawar itu dikirim lagi oleh pengantar bunga itu. Aku
tersenyum saat pengantar bunga itu menyodorkan bunga itu kepadaku.
Setelah meletakkannya di dekat foto mendiang suamiku, aku potong
salah satu bunga itu, dan memegangkannya ke tangan mungil anak
pertamaku. Bayi kecil lucu itu, yang mewarnai hari-hari indahku
akhir-akhir ini.
“Ini nak.. ada bunga dari Bapak..” kataku lirih.
Aku sengaja memberinya nama “Arga Samudra” – sama persis dengan nama
bapaknya, agar kelak dia punya kekuatan untuk mencintai, setulus
bapaknya.
Ini adalah makanan yang
tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah ini adalah kisah nyata sebuah
keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki.
Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk
saling menopang.
Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung
tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut
diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih
menjahitkan baju untuk sang anak.
Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.
Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah
sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.
Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg
beras untuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibuya
tidak mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.
Dan kemudian berkata kepada ibunya: "Ma, saya mau berhenti sekolah
dan membantu mama bekerja di sawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan
berkata, "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi
kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan
kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan
kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa kesana".
Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah,
mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang
anak ini dipukul oleh mamanya.
Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir
dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi
menjauh.
Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa
Ibunya datang ke kantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari
bahunya.
Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka
kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata,
"Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian
lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin
saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan
berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.
Awal bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam
kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari
kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan
berkata, "Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir,
apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian
berkata, "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima
tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka
beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini
lagi, maka saya tidak bisa menerimanya"
Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras dirumah
kami semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau
tahu dan berkata, "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam
bermacam-macam jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu
tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas
kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata, "Kamu sebagai
mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang
sama. Bawa pulang saja berasmu itu !".
Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas
tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat
dari mengemis". Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas
lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah
mengeras dan membengkak.
Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya menderita
rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk
bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti
sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan
menyuruhnya bersekolah lagi."
Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada di kampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.
Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat
pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap
pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua
beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas
itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan
berkata, "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya
bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu."
Sang ibu buru- buru menolak dan berkata: "Jangan, kalau anakku tahu
ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan
harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu
dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga
rahasia ini."
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara
diam-diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak
tersebut selama tiga tahun. Setelah Tiga tahun kemudian, sang anak
tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627
point.
Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari
anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu
banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini
yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong
beras.
Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.
Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata, "Inilah sang ibu dalam cerita tadi."
Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik ke atas mimbar.
Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan
melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan
sang anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut
kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat
mamanya dan berkata: "Oh Mamaku....."
Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan sepanjang kenangan.
Suatu ketika, hiduplah sebuah pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat
mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak
kecil itu.
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab
anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya
uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi
kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa
mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang
ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak
lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang
melihatnya datang . "Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja
untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah
kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel
itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat
anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel
merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi
denganku," kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup
tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku
sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang
tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah
berlayar dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat
kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi
datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel
lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit
buah apelmu," jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan
padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat
ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang ," kata anak lelaki. "Aku
hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah
sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat
terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di
pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang
ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun,
orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa
mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa
anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi
begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan
berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya
pada kita.
Suatu pagi yang sunyi
di Korea, di suatu desa kecil, ada sebuah bangunan kayu mungil yang
atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah yatim piatu di mana
banyak anak tinggal akibat orang tua mereka meninggal dalam perang.
Tiba-tiba, kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi mortir yang jatuh
di atas rumah yatim piatu itu. Atapnya hancur oleh ledakan, dan
kepingan-kepingan seng mental ke seluruh ruangan sehingga membuat banyak
anak yatim piatu terluka.
Ada seorang gadis kecil yang terluka di bagian kaki oleh kepingan
seng tersebut, dan kakinya hampir putus. Ia terbaring di atas
puing-puing ketika ditemukan, P3K segera dilakukan dan seseorang dikirim
dengan segera ke rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan.
Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai memeriksa anak-anak
yang terluka. Ketika dokter melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa
pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis itu secepatnya adalah
darah. Ia segera melihat arsip yatim piatu untuk mengetahui apakah ada
orang yang memiliki golongan darah yang sama. Perawat yang bisa
berbicara bahasa Korea mulai memanggil nama-nama anak yang memiliki
golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu.
Kemudian beberapa menit kemudian, setelah terkumpul anak-anak yang
memiliki golongan darah yang sama, dokter berbicara kepada grup itu dan
perawat menerjemahkan, "Apakah ada di antara kalian yang bersedia
memberikan darahnya utk gadis kecil ini?" Anak-anak tersebut tampak
ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali lagi dokter itu
memohon, "Tolong, apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan
darahnya utk teman kalian, karena jika tidak, ia akan meninggal!"
Akhirnya, ada seorang bocah laki-laki di belakang mengangkat
tangannya dan perawat membaringkannya di ranjang untuk mempersiapkan
proses transfusi darah.
Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk membersihkannya, bocah
itu mulai gelisah. "Tenang saja," kata perawat itu, "Tidak akan sakit
kok." Lalu dokter mulai memasukan jarum, ia mulai menangis. "Apakah
sakit?" tanya dokter itu. Tetapi bocah itu malah menangis lebih kencang.
"Aku telah menyakiti bocah ini!" kata dokter itu dalam hati dan mencoba
untuk meringankan sakit bocah itu dengan menenangkannya, tetapi tidak
ada gunanya.
Setelah beberapa lama, proses transfusi telah selesai dan dokter itu
minta perawat untuk bertanya kepada bocah itu. "Apakah sakit?"
Bocah itu menjawab, "Tidak, tidak sakit."
"Lalu kenapa kamu menangis?", tanya dokter itu.
"Karena aku sangat takut untuk meninggal" jawab bocah itu.
Dokter itu tercengang! "Kenapa kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal?"
Dengan air mata di pipinya, bocah itu menjawab, "Karena aku kira
untuk menyelamatkan gadis itu aku harus menyerahkan seluruh darahku!"
Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian ia bertanya, "Tetapi
jika kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk
memberikan darahmu?"
Sambil menangis ia berkata, "Karena ia adalah temanku, dan aku mengasihinya!"
Istriku berkata kepada
aku yang sedang baca koran, "Berapa lama lagi kamu baca koran itu?
Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan."
Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Lala
tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi
berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice). Lala anak yang manis dan
termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka
makan curd rice ini. Ibuku dan istriku masih kuno, mereka percaya
sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect” (menurunkan panas
dalam).
Aku mengambil mangkok dan berkata, "Lala sayang, demi Papa, maukah
kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti Mamamu
akan teriak2 sama Papa."
Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis
Lala mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata
“Papa, aku akan makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi
semuanya akan aku habiskan, tapi ada yang aku mau minta....” agak ragu2
sejenak “aku mau minta sesuatu sama Papa bila habis semua nasinya.
Apakah Papa mau berjanji memenuhi permintaanku?”
Aku menjawab “Oh pasti, sayang.”
Lala tanya sekali lagi, “Betul nih Papa ?”
“Iya, pasti," sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.
Lala juga mendesak Mamanya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk
tangan Lala yang merengek sambil berkata tanpa emosi, "Janji," kata
istriku.
Aku sedikit khawatir dan berkata, “Lala jangan minta komputer atau
barang2 lain yang mahal ya, karena Papa saat ini tidak punya uang.”
Lala menjawab, "Jangan khawatir, Lala tidak minta barang2 mahal kok."
Kemudian Lala dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat
menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam
hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Lala untuk makan
sesuatu yang tidak disukainya.
Setelah Lala melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata
penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju
kepadanya.
Ternyata Lala mau kepalanya digundulin (dibotakin) pada hari Minggu!!!
Istriku spontan berkata, "Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin!"
Juga Mamaku menggerutu, "Jangan terjadi dalam keluarga kita. Dia
terlalu banyak nonton TV dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan
kita."
Aku coba membujuk, "Lala kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak."
Tapi Lala tetap dengan pilihannya, "Tidak ada Papa, tak ada keinginan lain." kata Lala.
Aku coba memohon kepada Lala, "Tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami."
Lala dengan menangis berkata, "Papa sudah melihat bagaimana
menderitanya aku menghabiskan nasi susu asam itu dan Papa sudah
berjanji untuk memenuhi permintaanku. Kenapa Papa sekarang mau
mengingkari sendiri? Bukankah Papa selalu mengajarkan, bahwa kita harus
memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi?"
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, "Ok. Janji kita harus ditepati."
Secara serentak istri dan ibuku berkata, "Apakah aku sudah gila?"
"Tidak," jawabku, 'Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri."
"Lala, permintaanmu akan kami penuhi."
Dengan kepala botak, wajah Lala nampak bundar dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Lala
botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil
tersenyum aku membalas lambaian tangannya.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, "Lala, tunggu saya."
Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki-laki itu botak juga.
Aku berpikir mungkin 'botak' adalah model jaman sekarang.........
Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari mobil dan berkata,
“Anak anda, Lala benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan
bersama-sama dia sekarang, Alex adalah anak saya. Dia menderita kanker
leukemia.”
Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu, “Bulan lalu Alex
tidak masuk sekolah, karena pengobatan kemo-terapi, kepalanya menjadi
botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek oleh
teman-temannya."
"Nah, minggu lalu Lala datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya
untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul-betul
tidak menyangka kalau Lala mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk
anakku Alex. Bapak dan istri bapak sungguh diberkati Tuhan mempunyai
anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan aku menangis, malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang kasih.
Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak
: ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan
dengan baik.
Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba
naik dan akan menenggelamkan pulau itu.
Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. Cinta sangat
kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri
di tepi pantai mencoba mencari pertolongan.
Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan
sedang mengayuh perahu. "Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!" teriak Cinta.
"Aduh! Maaf, Cinta!" kata Kekayaan, "perahuku telah penuh dengan
harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula
tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu Kekayaan cepat-cepat
mengayuh perahunya pergi.
Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya.
"Kegembiraan! Tolong aku!", teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu
gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.
Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik.
Tak lama lewatlah Kecantikan. "Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!",
teriak Cinta. "Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu
ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut Kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah
Kesedihan. "Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu," kata Cinta. "Maaf,
Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja..." kata Kesedihan
sambil terus mengayuh perahunya.
Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.
Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "Cinta! Mari cepat
naik ke perahuku!" Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang
tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air
menenggelamkannya.
Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.
Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa
orang tua yang menyelamatkannya itu.
Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa
sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu."
kata orang itu.
"Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman
yang mengenalku pun enggan menolongku" tanya Cinta heran.
"Sebab," kata orang itu, "hanya Waktu lah yang tahu berapa nilai
sesungguhnya dari Cinta itu ......"
Seperti biasa Michael, kepala
cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada
pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Elvin, putra pertamanya yang baru duduk
di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur?”
sapa Michael sambil mencium anaknya.
Biasanya, Elvin memang sudah
lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi
hari.
Sambil membuntuti sang Papa
menuju ruang keluarga, Elvin menjawab, “Aku nunggu Papa pulang. Sebab
aku mau tanya berapa sih gaji Papa?”
“Lho, tumben, kok nanya
gaji Papa? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengen
tahu aja.”
“Oke. Kamu boleh hitung
sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan
setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Papa dalam satu bulan
berapa, hayo?”
Elvin berlari mengambil kertas
dan pensilnya dari meja belajar, sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan
televisi. Ketika Michael beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Elvin
berlari mengikutinya.
“Kalau satu hari Papa
dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp 40.000,-
dong,” katanya.
“Wah, pinter kamu.
Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Michael.
Tetapi Elvin tak beranjak.
Sambil menyaksikan Papanya
berganti pakaian, Elvin kembali bertanya, “Papa, aku boleh pinjam uang
Rp 5.000,- nggak?”
“Sudah, nggak usah
macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Papa capek. Dan mau
mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Papa…”
Kesabaran Michael habis.
“Papa bilang tidur!”
hardiknya mengejutkan Elvin.
Anak kecil itu pun berbalik
menuju kamarnya. Usai mandi, Michael nampak menyesali hardikannya, Ia pun menengok
Elvin di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Elvin didapatinya
sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus
kepala bocah kecil itu, Michael berkata, “Maafkan Papa, Nak. Papa sayang
sama Elvin. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan,
besok’ kan bisa. Jangankan Rp 5.000 ,- lebih dari itu pun Papa kasih.”
“Papa, aku nggak minta
uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan
selama minggu ini.”
“Iya, iya, tapi buat
apa?” tanya Michael lembut.
“Aku menunggu Papa
dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Setengah jam saja. Mama sering
bilang kalau waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu Papa.
Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Papa bilang satu jam Papa
dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang
Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Papa,” kata Elvin polos.
Michael terdiam. Ia kehilangan
kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.
Reo dan July adalah
sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari keluarga
yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga July berasal dari keluarga
kaya raya dan serba berkecukupan, sedangkan keluarga Reo hanyalah
keluarga seorang petani miskin yang menggantungkan kehidupannya pada
tanah sewaan.
Dalam kehidupan mereka berdua, Reo sangat mencintai July. Reo telah
melipat 1000 buah burung kertas untuk July dan July kemudian
menggantungkan burung-burung kertas tersebut pada kamarnya. Dalam tiap
burung kertas tersebut Reo telah menuliskan harapannya kepada July.
Banyak sekali harapan yang telah Reo ungkapkan kepada July. “Semoga kita
selalu saling mengasihi satu sama lain”,”Semoga Tuhan melindungi July
dari bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang bahagia”,dsb. Semua
harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang diberikan kepada
July.
Suatu hari Reo melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu
dilipat dengan kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda
dengan burung-burung kertas yang lain. Ketika memberikan burung kertas
ini, Reo berkata kepada July: “ July, ini burung kertasku yang ke 1001.
Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya kejujuran dan
keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu dan kita akan
segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek
nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua ! “
Saat mendengar Reo berkata demikian, menangislah July. Ia berkata
kepada Reo : “ Reo, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku
sekarang telah memutuskan untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh
uang dan kekayaan seperti kata orang tuaku!” Saat mendengar itu Reo pun
bak disambar geledek. Ia kemudian mulai marah kepada July. Ia mengatai
July matre, orang tak berperasaan, kejam, dan sebagainya. Akhirnya Reo
meninggalkan July menangis seorang diri.
Reo mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad dalam dirinya bahwa
ia harus sukses dan hidup berhasil. Sikap July dijadikannya cambuk untuk
maju dan maju. Dalam Sebulan usaha Reo menunjukkan hasilnya. Ia
diangkat menjadi kepala cabang di mana ia bekerja dan dalam setahun ia
telah diangkat menjadi manajer sebuah perusahaan yang bonafide dan tak
lama kemudian ia mempunyai 50% saham dari perusahaan itu. Sekarang tak
seorangpun tak kenal Reo, ia adalah bintang kesuksesan.
Suatu hari Reo pun berkeliling kota dengan mobil barunya. Tiba-tiba
dilihatnya sepasang suami-istri tua tengah berjalan di dalam derasnya
hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh dan tidak terawat. Reo pun
penasaran dan mendekati suami istri itu dengan mobilnya dan ia mendapati
bahwa suami istri itu adalah orang tua July. Reo mulai berpikir untuk
memberi pelajaran kepada kedua orang itu, tetapi hati nuraninya
melarangnya sangat kuat. Reo membatalkan niatnya dan ia membuntuti
kemana perginya orang tua July.
Reo sangat terkejut ketika didapati orang tua July memasuki sebuah
makam yang dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika
ia mendapati foto July dalam makam itu. Reo pun bergegas turun dari
mobilnya dan berlari ke arah makam July untuk menemui orang tua July.
Orang tua July pun berkata kepada Reo :”Reo, sekarang kami jatuh
miskin. Harta kami habis untuk biaya pengobatan July yang terkena kanker
rahim ganas. July menitipkan sebuah surat kepada kami untuk diberikan
kepadamu jika kami bertemu denganmu.” Orang tua July menyerahkan sepucuk
surat kumal kepada Reo.
Reo membaca surat itu. “Reo, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu.
Aku terkena kanker rahim ganas yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak
mungkin mengatakan hal ini saat itu, karena jika itu aku lakukan, aku
akan membuatmu jatuh dalam kehidupan sentimentil yang penuh keputusasaan
yang akan membawa hidupmu pada kehancuran. Aku tahu semua tabiatmu Reo,
karena itu aku lakukan ini. Aku mencintaimu
Reo................................
July “ Setelah membaca surat itu, menangislah Reo. Ia telah
berprasangka terhadap July begitu kejamnya. Ia pun mulai merasakan
betapa hati July teriris-iris ketika ia mencemoohnya, mengatainya matre,
kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa July kesepian seorang
diri dalam kesakitannya hingga maut menjemputnya, betapa July
mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan itu. Tetapi ia
lebih memilih untuk menganggap July sebagai orang matre tak
berperasan.July telah berkorban untuknya agar ia tidak jatuh dalam
keputusasaan dan kehancuran.
Cinta bukanlah sebuah pelukan atau ciuman tetapi cinta adalah pengorbanan untuk orang yang sangat berarti bagi kita.
Di sebuah keluarga miskin, seorang ayah tampak kesal pada anak perempuannya
yang berusia tiga tahun. Anak perempuannya baru saja menghabiskan uang untuk
membeli kertas kado emas untuk membungkus sekotak kado.
Keesokan harinya, anak perempuan itu memberikan kado itu sebagai hadiah ulang
tahun pada sang ayah.
“Ini untuk ayah,” kata anak gadis itu.
Sang ayah tak jadi marah. Namun ketika ia membuka kotak dan mendapatkan isinya
kosong, meledaklah kemarahannya.
“Tak tahukah kau, kalau kau menghadiahi kado pada seseorang, kau harus
memberi sebuah barang dalam kotak ini!”
Anak perempuan kecil itu menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia berkata
terisak-isak, “Oh ayah, sesungguhnya aku telah meletakkan sesuatu ke dalam
kotak itu.”
“Apa yang kau letakkan ke dalam kotak ini? Bukankah kau lihat kotak ini
kosong?” bentak ayahnya.
“Oh ayah, sungguh aku telah meletakkan hampir ribuan ciuman untuk ayah
ke dalam kotak itu,” bisik anak perempuan itu.
Sang ayah terperangah mendengar jawaban anak perempuan kecilnya. Ia lalu memeluk
erat-erat anak perempuannya dan meminta maaf.
Konon, orang-orang menceritakan bahwa, pria itu selalu meletakkan kotak kado
itu di pinggir tempat tidurnya sampai akhir hayat. Kapan pun ia mengalami kekecewaan,
marah atau beban yang berat, ia membayangkan ada ribuan ciuman dalam kotak itu
yang mengingatkan cinta anak perempuannya.
Dan sesungguhnya kita telah menerima sebuah kotak emas penuh berisi cinta tanpa
pamrih dari orang tua, istri/suami, anak, pasangan, teman dan sahabat kita.
Tak ada yang lebih indah dan berharga dalam hidup ini selain cinta.
Ada 4 lilin yang sedang menyala. Sedikit demi sedikit habis meleleh.
Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka.
Lilin yang pertama berkata: “Aku adalah Damai."
"Namun manusia tak mampu menjagaku. Maka lebih baik aku mematikan diriku
saja!”
Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin pertama padam.
Lilin yang kedua berkata: “Aku adalah Iman.”
“Sayang aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku. Tak ada gunanya
aku tetap menyala.”
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.
Dengan sedih giliran lilin ketiga bicara: ”Aku adalah Cinta.”
“Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang
dan mengganggapku berguna. Mereka saling membenci. Bahkan membenci mereka yang
mencintainya, membenci keluarganya.”
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah lilin ketiga.
Tanpa terduga…
Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga lilin telah
padam.
Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Eh apa yang terjadi?? Kalian
harus tetap menyala. Aku takut akan kegelapan!”
Lalu ia mengangis tersedu-sedu.
Lalu dengan terharu lilin keempat berkata:
"Jangan takut. Janganlah menangis. Selama aku masih ada dan menyala, kita
tetap dapat selalu menyalakan ketiga lilin lainnya."
”Akulah HARAPAN.“
Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali
ketiga lilin lainnya.
Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN. Jangan sampai
kita kehilangan HARAPAN.
Sebuah toko hewan peliharaan (pet store) memasang papan iklan yang menaik bagi anak-anak kecil, "Dijual Anak Anjing".
Segera saja seorang anak lelaki datang, masuk ke dalam toko dan
bertanya "Berapa harga anak anjing yang anda jual itu?" Pemilik toko itu
menjawab, "Harganya berkisar antara 30 - 50 Dollar."
Anak lelaki itu lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa
keping uang, "Aku hanya mempunyai 2,37 Dollar, bisakah aku
melihat-lihat anak anjing yang anda jual itu?" Pemilik toko itu
tersenyum. Ia lalu bersiul memanggil anjing-anjingnya.
Tak lama dari kandang aning munculah anjingnya yang bernama Lady yang
diikuti oleh lima ekor anak anjing. Mereka berlari-larian di sepanjang
lorong toko. Tetapi, ada satu anak anjing yang tampak berlari tertinggal
paling belakang. Si anak lelaki itu menunjuk pada anak anjing yang
paling terbelakang dan tampak cacat itu.
Tanyanya, "Kenapa dengan anak anjing itu?"
Pemilik toko menjelaskan bahwa ketika dilahirkan anak anjing itu
mempunyai kelainan di pinggulnya, dan akan menderita cacat seumur
hidupnya.
Anak lelaki itu tampak gembira dan berkata, "Aku beli anak anjing
yang cacat itu." Pemilik toko itu menjawab, "Jangan, jangan beli anak
anjing yang cacat itu. Tapi jika kau ingin memilikinya, aku akan berikan
anak anjing itu padamu."
Anak lelaki itu jadi kecewa. Ia menatap pemilik toko itu dan berkata,
"Aku tak mau kau memberikan anak anjing itu cuma-cuma padaku. Meski
cacat anak anjing itu tetap mempunyai harga yang sama sebagaimana anak
anjing yang lain. Aku akan bayar penuh harga anak anjing itu. Saat ini
aku hanya mempunyai 2,35 Dollar. Tetapi setiap hari akan akan mengangsur
0,5 Dollar sampai lunas harga anak anjing itu."
Tetapi lelaki itu menolak, "Nak, kau jangan membeli anak anjing ini.
Dia tidak bisa lari cepat. Dia tidak bisa melompat dan bermain
sebagaiman anak anjing lainnya."
Anak lelaki itu terdiam. Lalu ia melepas menarik ujung celana
panjangnya. Dari balik celana itu tampaklah sepasang kaki yang cacat. Ia
menatap pemilik toko itu dan berkata, "Tuan, aku pun tidak bisa berlari
dengan cepat. Aku pun tidak bisa melompat-lompat dan bermain-main
sebagaimana anak lelaki lain. Oleh karena itu aku tahu, bahwa anak
anjing itu membutuhkan seseorang yang mau mengerti penderitaannya."
Kini pemilik toko itu menggigit bibirnya. Air mata menetes dari sudut
matanya. Ia tersenyum dan berkata, "Aku akan berdoa setiap hari agar
anak-anak anjing ini mempunyai majikan sebaik engkau."
Bertahun-tahun
yang lalu ketika aku masih berusia dua puluhan, aku bekerja sebagai
seorang salesman untuk perusahaan piano St. Louis. Kami menjual piano ke
seluruh negara bagian dengan cara mengiklankan di koran-koran setempat.
Jika kami sudah mendapatkan banyak pesanan, maka kami akan mengirimkan
piano-piano dengan truk.
Setiap kali kami memasang iklan di daerah perkebunan kapas di
Missouri tenggara, maka kami akan menerima tanggapan di atas kartu pos
dari seorang wanita tua yang menulis, “Tolong kirimkan sebuah piano baru
untuk cucu perempuanku. Warnanya harus merah mahoni. Aku sanggup
membayar sepuluh dollar per bulan dari hasil penjualan telur.”
Tentu saja kami tidak dapat menjual sebuah piano baru dengan cicilan
sepuluh dollar setiap bulan. Tidak ada bank yang mau menangani
pembayaran cicilan sekecil itu, jadi kami abaikan saja kartu pos itu.
Pada suatu hari aku kebetulan berada di daerah itu untuk memenuhi
permintaan beberapa pembeli, dan karena keingin-tahuanku, maka aku
memutuskan untuk mengunjungi wanita tua penulis kartu pos itu. Aku sudah
membayangkan apa yang akan aku temui. Wanita tua itu tinggal di sebuah
gubug kecil sebagaimana lazimnya petani yang berbagi hasil di tengah
perkebunan kapas.
Gubugnya berlantai tanah dan banyak ayam berkeliaran di dalam gubuk
itu. Tentu saja ia tidak memiliki mobil, telpon, atau pekerjaan tetap.
Ia tidak memiliki apa-apa kecuali atap di atas kepalanya. Atapnyapun
tidak begitu baik karena aku dapat melihat langit biru dari dalam. Cucu
perempuannya kira-kira berusia sepuluh tahun, bertelanjang kaki dan
memakai baju dari bekas karung terigu.
Aku menerangkan kepada wanita tua ini bahwa perusahaan kami tidak
dapat menjual piano dengan cicilan sepuluh dollar sebulan dan aku mohon
kepadanya untuk tidak mengirimkan kartu pos sebagai tanggapan atas iklan
kami. Aku meninggalkan gubuk mereka dengan hati yang hancur.
Keteranganku tidak ada gunanya karena ia tetap saja menulis kartu pos
permintaannya. Kartu pos dengan permintaan yang sama datang setiap enam
minggu. Permintaannyapun sama, sebuah permohonan memelas untuk sebuah
piano merah mahoni disertai janji dan sumpah bahwa ia tidak akan
membayar terlambat cicilannya. Memang amat menyedihkan.
Beberapa tahun kemudian aku akhirnya memiliki perusahaan piano
sendiri dan ketika aku memasang iklan di daerah itu, kartu pos dengan
isi yang sama mulai berdatangan. Berbulan-bulan lamanya aku abaikan. Apa
yang dapat aku lakukan?
Tetapi pada suatu hari ketika aku berada di daerah itu, ada sesuatu
yang menggerakkan hatiku. Aku membawa sebuah piano merah mahoni di atas
truk. Meskipun tahu bahwa aku akan membuat keputusan bisnis yang keliru,
aku mengantar piano tersebut ke gubuk wanita tua itu. Aku tidak
mengikut-sertakan bank. Aku sendiri yang menanda-tangani kontrak senilai
sepuluh dollar sebulan tanpa bunga dan itu berarti lima puluh dua kali
pembayaran.
Aku menurunkan piano dan memasukkannya ke dalam gubuk dan memilih
tempat yang kelihatannya tidak akan kebocoran. Aku mengingatkan nenek
serta cucunya agar tidak membiarkan ayam bermain dekat piano. Ketika
beranjak pergi, aku merasa yakin telah membuang sebuah piano baru.
Tetapi memang pembayaran datang tepat waktu, lima puluh dua bulan,
tepat seperti yang ia janjikan. Kadang-kadang ia membayar dengan uang
logam yang ditempel pada sebuah karton tebal di dalam amplop.
Menakjubkan memang. Aku telah melupakan hal itu selama dua puluh tahun.
Pada suatu hari aku berada di Memphis dalam rangka bisnis dan sesudah
makan malam di sebuah hotel mewah, aku duduk di sofa sambil minum. Di
kejauhan aku mendengar alunan suara piano yang amat indah. Aku
mencari-cari dan terlihat seorang wanita muda yang cantik sedang bermain
di sebuah grand piano.
Karena aku juga seorang pemain piano, aku dapat mengenali permainan
seseorang yang amat mahir. Aku pindah mendekati si pemain piano agar
bisa mendengar dan melihat. Ia tersenyum kepadaku dan bertanya adakah
lagu yang aku ingin ia mainkan?
Ketika beristirahat ia menghampiriku dan duduk di mejaku.
“Apakah anda pria yang menjual piano kepada nenekku bertahun-tahun yang lalu?”
Aku tidak menyadari kata-katanya, jadi aku memintanya menerangkan apa
yang ia maksudkan. Ia mulai bercerita dan aku tiba-tiba ingat. Oh! Ia
adalah gadis yang tidak beralas kaki serta memakai baju dari bekas
karung terigu itu.
Ia mengatakan bahwa namanya Elise dan karena dulu neneknya tidak
mampu membayar seorang guru piano, maka ia belajar bermain piano dengan
cara mendengarkan radio. Ia juga mengatakan bahwa mula-mula ia bermain
di tempat kebaktian yang harus mereka capai dengan berjalan kaki sejauh
tiga kilometer.
kemudian ia bermain di sekolah dan memenangkan banyak perlombaan
bermain piano, dan kemudian menerima beasiswa. Ia juga bercerita bahwa
ia sudah menikah dengan seorang pengacara yang telah membelikannya
sebuah grand piano yang sangat indah.
Kemudian aku bertanya,
“Elise, apa warna piano itu?”
“Merah mahoni,” jawabnya.
Apakah ia tahu pentingnya warna merah mahoni itu? Keberanian dan
ketekunan dari neneknya untuk mengharapkan sebuah piano berwarna merah
mahoni ketika tidak ada orang yang mau menjual piano kepadanya. Juga
keberhasilan yang bukan main dari gadis kecil yang tidak beralas kaki
dan hanya memakai baju dari bekas karung terigu.
Mungkin Elise tidak tahu semuanya ini, namun aku amat tahu. Ini semua
hanya dapat terjadi karena kasih seorang nenek terhadap cucunya…